Belakangan ini umat manusia ramai membicarakan tentang AI atau Artificial Intelligence yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Kecerdasan Buatan. AI ini disebut-sebut bisa mempermudah pekerjaan manusia, bahkan untuk sejumlah bidang kerja yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun, seiring majunya teknologi dan menjamurnya tren AI, kehadiran AI mulai ditakuti karena mengancam posisi manusia dari pekerjaannya. Lantas antara AI dan kecerdasan manusia, sebenarnya mana yang lebih unggul?
Artificial Intelligence sudah ada dari lama
AI pertama kali diusulkan oleh John McCarthy pada tahun 1956. Namun pada masa itu AI hanya sebatas komputerisasi dan alat. Pada dekade berikutnya, teknologi AI dilibatkan untuk pembuatan robot industrial. Selanjutnya di era yang lebih modern, AI mulai dikembangkan untuk membuat chatbot hingga berdialog sederhana seperti yang ditemukan pada Siri, Alexa, Bixby, dan sebagainya.
Kalau sekarang, kemampuan AI ini semakin hebat saja dan mulai mengambil alih pekerjaan manusia. Sebut saja contohnya AI yang mampu mengedit wajah orang di dalam video atau AI yang mampu melakukan transkrip video dan menerjemahkannya ke bahasa lain.
AI dirancang berpikir seperti mansia
Kecerdasan buatan dirancang mengikuti cara berpikir manusia. Misalnya saja ketika memecahkan masalah yang berkaitan dengan hitungan atau matematika. Bahkan beberapa diagnosis masalah juga bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan. Pasalnya, kecerdasan buatan sudah ditanamkan teori-teori yang lebih relevan dan pengetahuan lainnya yang dipelajari oleh manusia. Untuk aspek cara berpikir, kecerdasan buatan atau AI memang setara dengan kecerdasan manusia. Bahkan bisa dibilang lebih unggul karena daya ingat manusia terbatas.
Perilaku seperti manusia
Via Freepik
Artificial Intelligence bertindak mengikuti pergerakan dan perilaku manusia. Sebut saja seperti robot industrial yang bisa memindahkan barang dan memisahkan barang sesuai kategori. Hanya saja, robot dengan kecerdasan buatan ini tidak bisa berpikir seperti manusia. Ia hanya menjalankan tugasnya berdasarkan sistem yang telah diatur.
Begitu halnya dengan alat pembersih lantai atau vacuum cleaner otomatis yang mengandalkan AI untuk menelusuri ruangan tanpa menyisakan suatu sudut. Vacuum cleaner ini juga bisa menilai apakah benda di depannya merupakan kotoran atau memang benda milik manusianya.
Kecepatan pengerjaan
AI memiliki proses pengerjaan yang sangat cepat. Katakanlah Anda ingin membuat caption untuk postingan Instagram. Alih-alih menghabiskan waktu untuk berpikir dan browsing inspirasi di internet, AI akan langsung membuatkannya untuk Anda dalam hitungan detik hanya berdasarkan kata kunci yang telah Anda input. Proses pembuatan caption tersebut berdasarkan data-data yang sudah didokumentasikan sebelumnya oleh si pembuat AI.
Hal ini bisa menjadi boomerang. Di satu sisi, Anda bisa menghemat waktu. Di lain sisi, pekerjaan penulis bisa tergantikan oleh kecerdasan buatan.
Tidak memiliki sikap dan pemikiran rasional
Saat ini para ilmuwan masih berusaha untuk merancang AI yang berorientasi pada suatu target atau tujuan. Tapi hal ini nampaknya cukup sulit karena karakteristik manusia dan AI sangat berbeda. Sederhananya untuk perumpamaan, ketika orang memasak untuk makan dan berhemat, maka AI pada robot hanya akan memasak tanpa tujuan melainkan perintah dari manusia.
Tentunya para ilmuwan akan terus mengembangkan kemampuan AI untuk meringankan kerja manusia. Lebih efisien dari segi waktu dan tenaga. Namun hingga saat ini tidak ada kecerdasan yang bisa menandingi atau mengungguli kecerdasan manusia. Pasalnya, kecerdasan manusia begitu beragam dan kompleks. Hal ini pula ‘kan yang membuat kehidupan manusia lebih berwarna dan tidak monoton?
Untuk Anda yang kerap memanfaatkan AI atau kecerdasan buatan dalam kegiatan sehari-hari, tetaplah menggunakannya dengan bijak dan mengawasi hasilnya karena AI hanyalah alat bantu manusia serta tetap memiliki resiko kesalahan.