Pentingnya Edukasi Seksualitas Sejak Dini
Sebagaimana yang kita tahu, isu edukasi seksualitas sering kali menimbulkan kontroversi pada masyarakat. Di Indonesia khususnya, topik seks merupakan hal yang tabu untuk didiskusikan. Hal ini sangat miris, karena ketidaktahuan tersebut turut berperan dalam munculnya kasus kekerasan seksual dan pelecehan terhadap anak.
Menurut data KPAI pada tahun 2013, sebanyak 95 persen siswa kelas 4-6 SD di Jakarta pernah mengonsumsi pornografi. Berdasarkan penelitian dari lembaga yang sama, lebih dari 50 persen orang tua lebih peduli pada hal-hal akademik daripada persoalan sosial yang dilalui anak-anak mereka. Urusan reproduksi, salah satunya.
Dari berbagai data yang ada, salah satu penyebab kejahatan seksual adalah kurangnya edukasi seksualitas. Merasa risi dengan kondisi tersebut, sebagian pihak berinisiatif untuk mengangkat isu ini dengan medium yang awam, yaitu lewat buku. Namun, sebagian besar masyarakat malah mengecam usaha tersebut.
Penerapan edukasi seksualitas pun sama kompleksnya dengan status isu tersebut. Lalu, apa saja yang perlu dipahami dari metode-metode yang bisa dilakukan?
Usia Menerima Edukasi Seksualitas
Salah satu rintangan edukasi seksualitas adalah pertanyaan kapan harus memulai. Dilansir dari situs PBS, edukasi seksualitas di Belanda telah dimulai sejak anak berusia 4 tahun. Seksualitas tidak hanya perkara hubungan seks, tapi juga citra diri, peran gender, serta cara berekspresi untuk menyatakan keinginan dan batasan-batasan.
John T. Chirban, pakar psikologi Harvard Medical School sekaligus direktur Cambridge Counseling Associates, menyarankan para orang tua untuk terbuka ketika anak-anak bertanya mengenai hal-hal terkait seksualitas. Sebagai contoh, ketika anak bertanya dari mana bayi berasal, orang tua cukup menjawab sederhana dan apa adanya. Begitu pun ketika usia mereka bertambah dan level pertanyaan meningkat.
Peran Keluarga dalam Edukasi Seksualitas
Perlu diketahui bahwa tidak semua keluarga terbuka terhadap isu ini. Oleh karena itu, penting untuk menjaga materi dalam edukasi seksualitas untuk anak, dari segi konten maupun kemasan. Selain faktor keluarga, setiap anak juga belajar dengan cara berbeda. Metode penyampaian pun harus menyesuaikan dengan karakter diri mereka.
Di luar metode-metode tersebut, penerapan edukasi bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mengajari anak menggunakan istilah ilmiah untuk menyebut organ reproduksi mereka, dan membuat mereka paham tentang batasan-batasan.
Kunci Penerapan Edukasi
Berbagai faktor kerap membuat situasi menjadi canggung saat orang tua diajukan pertanyaan seputar seks oleh anak mereka. Faktor-faktor tersebut meliputi kurangnya wawasan, kesulitan menyusun jawaban yang sesuai, atau masih terjerat stigma soal seks itu tabu.
Yang terpenting dari edukasi seks adalah porsi konten yang diberikan harus sesuai dengan usia anak, metode penyampaian, dan bukan terus-menerus menyangkal soal pentingnya edukasi seksualitas tersebut.
Setelah memahami poin-poin di atas, kita dapat memulai edukasi seks dengan benar. Selain orang tua, partisipasi dari saudara yang sudah dewasa, sekolah, lembaga-lembaga sosial, dan pemerintah juga diperlukan. Dengan menanamkan nilai-nilai dan wawasan seksualitas, anak-anak bisa menafsirkan seksualitas bukan sekadar hubungan intim.
Namun, perlu diingat, tidak cukup hanya dengan mengajarkan seksualitas pada anak. Pembatasan akses mereka terhadap media, internet, dan pergaulan juga penting. Jangan sampai mereka justru terjerat dengan konten-konten pornografi.
Sudah merupakan tugas orang tua untuk membuat anaknya percaya penuh pada mereka. Jadilah sahabat bagi mereka. Jadi, apa pun yang terjadi, orang tua adalah tempat pertama untuk bercerita dan menerima solusi.
Konsultasi Psikologi Semarang
1 September 2018 at 12:21
It’s going to be finish of mine day, except before finish I am reading
this fantastic paragraph to increase my knowledge.