Ironis, Hal-hal Seperti Ini Malah Terjadi di Lingkungan Sekolah
Sekolah sejatinya rumah kedua yang membentuk muridnya menjadi versi yang lebih baik. Sekolah memfasilitasi banyak hal, baik melalui tenaga pengajar, maupun hal-hal terkait logistik lainnya. Tidak akan ada habisnya jika membicarakan visi dan misi sekolah yang sungguh sangat mulia itu. Tetapi, ironisnya, banyak hal-hal negatif—yang bertentangan dengan visi dan misi tersebut—terjadi di lingkungan sekolah.
Sebagaimana sekolah juga merupakan wadah manusia saling berinteraksi, hal-hal buruk tadi tidak bisa dihilangkan secara penuh. Masih banyak murid berkelahi meski tenaga pengajar merupakan para ahli. Masih sering terjadi hal-hal asusila di lingkungan sekolah, meski sekolah itu sendiri merupakan tempat “kursus” moral. Sistem yang diterapkan pun bisa dikatakan belum mendukung.
Lalu, hal-hal ironis seperti apa yang seringkali malah terjadi di lingkungan sekolah?
Pembodohan
Kita sekolah untuk apa? Pintar, adalah jawaban paling umum dan masuk akal. Entah itu pintar matematika, pintar fisika, pintar olahraga, atau pintar mengendalikan emosi. Apa saja, selama hal tersebut tidak merugikan. Lalu, bagaimana jika hal yang terjadi malah sebaliknya?
Begitu banyak pembodohan terjadi di lingkungan sekolah. Dari hal yang awam saja, seperti mereka yang lebih pintar membodohi mereka yang kurang pintar. Bahkan, bagian terburuk adalah anak yang membodohi orang tua mereka sendiri, entah itu perihal hasil ujian, atau jumlah uang pembangunan sekolah. Hal ini sering terjadi, bukan?
Perundungan atau bullying
Perundungan bukanlah masalah sepele yang berdampak ringan. Sebaliknya, perundungan justru meninggalkan bekas yang susah pudar pada korban, dan tabiat buruk yang terus tumbuh pada si pelaku. Bullying sebenarnya bisa terjadi mana saja. Di lingkungan sekolah, kita sering melihat, merasakan, atau bahkan menjadi pelakunya.
Umumnya, perundungan atau bullying terjadi karena;
Superioritas pelaku terhadap korbannya. Merasa lebih jago, lebih besar dan kuat, atau lebih cerdas.
Inferioritas si korban. Merasa lemah, tidak berani melawan, tidak berani melapor, dan sebagainya.
Kurang tegasnya peraturan. Perundungan kerap terjadi karena tidak bergeraknya hukum yang membuat para pelaku jera.
Pelecehan
Tidak hanya pada lingkaran murid, tetapi hal buruk ini lebih sering dilakukan oleh kaum pengajar. Karena usia yang lebih tua dan “kuasa” yang besar, ketakutan dan rasa bersalah melakukan hal memalukan menjadi kurang. Sebagai contoh, seorang kepala sekolah melakukan pelecehan terhadap murid atau bawahannya karena punya banyak ancaman. Jika melawan, bawahannya akan dipecat. Jika melapor, muridnya akan dikeluarkan dari sekolah.
Mengherankan, karena seharusnya para pengajar, atau sebutlah mereka yang lebih dewasa, itu harusnya bisa membimbing dan memberi perlindungan. Kembali pada kasus sebelumnya, kurang tegasnya hukum, serta inferioritas para korban, menjadi pupuk yang membuat pelecehan terus tumbuh dan sukar hilang.
Tidak Tertib dan Disiplin
Hal ini memang terdengar ringan, tapi sikap tertib merupakan cerminan dari terdidiknya seseorang. Dengan bersikap tertib, kita cenderung lebih taat pada aturan. Sementara disiplin adalah cara untuk tetap berada pada pola yang ditetapkan sebelumnya. Dengan kata lain, disiplin membuat kita hidup dengan lebih teratur.
Ketidaktertiban dan ketidakdisiplinan sering ditemukan di lingkungan sekolah. Contohnya, masih banyak kasus murid atau pengajar yang datang terlambat, dan kerap mengulang hal yang sama lantaran tidak menerima sanksi. Seharusnya, sekolah merupakan sarana untuk mengajarkan dua perihal tersebut.
Tentunya, kita tidak mau hal-hal negatif di atas berkembang sebagai budaya dalam masyarakat. Terkhusus dalam lingkungan sekolah, di mana seharusnya pihak-pihak di dalamnya merupakan kalangan yang paham, atau sekurang-kurangnya belajar untuk paham, antara benar dan salah.
How useful was this post?
Click on a star to rate it!
Average rating 0 / 5. Vote count: 0
No votes so far! Be the first to rate this post.
Be the first to write a comment.