Membaca adalah metode terbaik dan efektif untuk mendapatkan informasi. Dengan giatnya membaca, tidak hanya wawasan yang akan bertambah luas, tetapi juga mengasah kemampuan penalaran. Nalar itu sendiri yang menjadi kunci kemajuan suatu bangsa di bidang pendidikan. Namun, sayangnya, membudayakan kegiatan membaca belum dianggap serius oleh sebagian besar masyarakat.
Central Connecticut State University melakukan studi “Most Literate Nation in the World” pada Maret 2016 lalu. Hasilnya, Indonesia menempati posisi 60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. Faktor yang menyebabkannya pun beragam, mulai dari peran pemerintah yang kurang inisiatif, sampai orang tua yang kurang peduli pada budaya membaca.
Ada hal-hal menarik yang perlu kita tahu mengapa minat baca rendah, serta komparasi terhadap negara-negara yang lebih pintar.
Kehadiran Teknologi
Alasan paling kuat adalah kehadiran teknologi yang mencuri perhatian dari kegiatan membaca, dari televisi hingga media sosial. Teknologi-teknologi tersebut memiliki kemasan yang lebih menarik bagi anak. Alhasil, anak seolah dipaksa untuk memilih ke mana mereka akan menginvestasikan waktunya. Namun, sebenarnya hal ini sangat bisa dikontrol oleh orang tua. Idealnya, dalam sehari anak-anak dilatih untuk disiplin membaca beberapa halaman berkonten padat.
Bacaan yang Membosankan
Anak-anak tentu merasa tidak nyaman saat dipaksa membaca buku-buku yang tidak mereka sukai. Padahal, menyesuaikan level bacaan dengan usia anak ialah penting dalam membudayakan kegiatan membaca. Semisal, anak pada jenjang sekolah dasar akan lebih nyaman membaca komik. Sebagian orang tua mungkin menganggap bahan bacaan tersebut kurang bermanfaat. Padahal, membaca komik setidaknya juga membantu mengenalkannya pada dunia baca. Semakin ia tumbuh, bacaannya nanti juga akan berkembang.
Pengaruh Lingkungan
Tidak semua keluarga membudayakan kegiatan membaca.. Tidak semua pergaulannya juga demikian. Padahal, budaya membaca juga dapat dibentuk dari lingkungan. Jika lingkungan keluarga dan pergaulan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka sekolah menjadi alternatif lain untuk membudayakan kegiatan membaca. Sayangnya, tidak semua sekolah di Indonesia mendorong minat baca siswa-siswanya dan memfasilitasi dengan beragam buku yang edukatif.
Adapun di negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, mereka menetapkan daftar bacaan wajib di sekolah. Berikut adalah beberapa contohnya;
- Amerika Serikat: To Kill a Mockingbird (1960), karya Harper Lee.
- Iran: puisi-puisi karya Hafiz, Ferdowsi, Rumi, dan Omar Khayyam.
- Finlandia: Seven Brothers (1870), karya Aleksis Kivi.
Umumnya, buku-buku di atas merupakan karya-karya serius yang kompleks secara isi maupun kemasan. Para penentu kurikulum merasa cocok dan representatif, baik untuk dipelajari secara luas.
Dengan memahami data-data di atas, tentu kita merasa wajar saja kalau sektor pendidikan di Indonesia ketinggalan dengan negara-negara barat. Polanya dimulai dari anak-anak yang tidak dibiasakan membaca. Lebih buruknya lagi apabila mereka tumbuh menjadi remaja yang hanya mengenal gadget, serta tidak memiliki motivasi untuk berprestasi.
Alhasil, mereka kesulitan saat berada di jenjang kuliah dengan tuntutan penyerapan informasi yang tinggi. Setelah lulus pun, pekerjaan yang didapat tidak sesuai dengan keahlian. Pola yang sama barangkali akan diteruskan ke anak-anak mereka. Barangkali juga berhenti di mereka karena dianugerahi kesadaran akan membaca di usia senja nanti.
Jika kita cukup pintar, perihal di atas tentu akan mendatangkan ketakutan dalam diri kita. Bagaimana jika suatu waktu bangsa kita mengalami kemunduran yang besar? Tapi tidak cukup pintar dan paham saja, kita juga harus bijak. Bijak artinya peduli. Peduli betapa pentingnya membudayakan kegiatan membaca.