Salah satu indikator keberhasilan sistem pendidikan adalah kemampuan membentuk minat peserta didik. Pembentukan minat biasanya berhubungan dengan tinggi rendahnya partisipasi peserta didik di dalam kelas. Tentu saja, semakin tinggi partisipasi mereka, semakin baik pula suasana kompetisi di lingkungan belajar.
Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan, telah mewakili tingginya minat belajar dan kompetisi di lingkungan belajar. Para peserta didik di negara-negara tersebut bahkan dikenal giat menambah jam belajarnya di luar sekolah. Dengan sendirinya, iklim berkompetisi tetap terjaga demi menjadi yang terbaik.
Ketersediaan fasilitas pendidikan yang canggih dan terawat, diyakini menjadi pendukung utama terciptanya minat belajar yang tinggi. Kualitas dan kreativitas para lulusan pun tinggal menunggu waktu. Hal ini jelas berkebalikan dengan situasi pendidikan di Indonesia.
Jangankan menghasilkan kualitas lulusan yang bagus. Membentuk kompetisi di lingkungan belajar saja masih menjadi tabu yang selalu diperdebatkan. Padahal banyak sekali metode yang bisa dijalankan untuk mulai merancang kualitas generasi terdidik dan terlatih di masa depan. Beberapa metode tersebut, di antaranya:
1. Spesifikasi Peminatan
Pada kurikulum sekolah di Indonesia, anak-anak sekolah dasar biasanya dibiarkan mencoba semua bidang pelajaran. Selama 40-50 jam sepekan, mereka dijejali materi alam, sosial, dan olahraga.
Masalahnya sangat sedikit anak yang paham dengan peminatan. Semuanya masih cenderung labil sampai, kira-kira, sang anak berada di jenjang SMA. Oleh karena itu, metode spesifikasi peminatan perlu diterapkan sejak dini pada kurikulum sekolah.
Sediakanlah pilihan kelas seni dan olahraga bagi mereka, misalnya, sejak kelas 3 atau 4 SD. Dalam kelas peminatan yang sama, dasar-dasar bernalar dan keterampilan mereka pun dapat dinilai dengan lebih proporsional.
2. Perencanaan Prioritas
Kompetisi di lingkungan belajar selalu memberikan perbedaan dampak. Anak yang
mendapatkan ruang partisipasi di kelas, tentu saja menunjukkan perkembangan perilaku yang berbeda dengan anak yang belajar di luar kelas.
Pembeda dari keduanya adalah cara mereka berkembang dan mendapatkan pelajaran. Anak yang berkembang dan belajar dari lingkungan di luar kelas, cenderung tumbuh sesuai karakter lingkungannya. Tidak ada jaminan mereka berada dalam lingkungan yang baik dan aman.
Tumbuh kembang anak di dalam kelas sebenarnya jauh lebih menjamin keamanan, kenyamanan, dan keberlanjutan pembentukan karakter mereka. Selain ada guru yang berperan sebagai fasilitator dan pengawas, situasi formal di dalam kelas akan lebih mudah menjadi contoh bertingkah laku bagi sang anak.
Jadi, sudah seharusnya sekolah berkomitmen pada perencanaan prioritas para siswanya. Sekali saja pihak sekolah lalai dan lengah, maka taruhannya adalah ketidakseimbangan perilaku dan perkembangan anak.
3. Stimulasi Inovasi dan Kreativitas
Menugaskan seorang siswa, yang mahir bermain saksofon, untuk membuat kendi adalah contoh kecerobohan dari kurikulum pendidikan. Ketika si anak mendapatkan nilai jelek karena kendi buatannya jelek, guru pun mewajibkanya melakukan perbaikan. Ini sudah kecerobohan tingkat lanjut yang menunjukkan kebebalan penyelenggara pendidikan.
Dalam situasi bebal seperti kasus di atas, rendahnya tingkat partisipasi siswa dalam pelajaran-pelajaran tertentu pun, dapat dimaklumi. Penerapan yang sudah usang itu bisa diganti dengan menstimulasi siswa ke dalam kelas peminatan yang sama. Ini adalah tahap paling awal yang akan berlanjut pada penilaian kreativitas para siswa.
4. Keseimbangan Hasil dan Aturan
Pada setiap kompetisi ada menang dan ada kalah. Kompetisi di lingkungan belajar pun mengenal pemahaman yang serupa. Bedanya, pengertian kalah di lingkungan belajar tidak selalu bermakna ketersingkiran atau hukuman.
Metode keseimbangan hasil dan aturan bisa digagas oleh penyelenggara pendidikan dengan menyampaikan konsekuensi dalam peraturan kompetisi. Rancanglah tata aturan tersebut dengan berorientasi pada sikap saling menghargai.
Apabila keberlanjutannya dilakukan secara konsisten, maka masalah-masalah toleransi dan kerukunan bukan lagi kendala bermasyarakat bagi generasi masa depan.
Demikianlah uraian tentang metode pembentukan kompetisi di lingkungan belajar. Karena berbagai langkah besar selalu dimulai dari sebuah langkah kecil, maka kebijaksanaan Anda menentukan prioritas bagi lingkungan terdekat, akan berdampak pada penyebaran kebaikan yang berkualitas bagi masyarakat.