Tuntutan untuk lulus cepat seringkali membuat mahasiswa enggan terlibat dalam organisasi kampus, misal BEM, Senat, HMJ, Rohis, Mapala, kelompok studi, penelitian, dsb. “Jangan ikut organisasi kemahasiswaan, nanti kuliahmu keteteran, terus IPK jeblok!”. “Coba liat aktivis-aktivis itu, kerjanya demo melulu, mana dandanan kucel, lulusnya lama lagi. IPK-nya saja rata-rata nasakom (nilai satu koma)”.
Kalimat-kalimat di atas hanya contoh kecil yang bisa menggambarkan bagaimana keengganan berorganisasi merasuk di kalangan mahasiswa. Padahal banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh saat terjun dalam kegiatan organisasi kampus, apalagi buat kamu yang pengen banget bisa kuliah di luar negeri, di antaranya:
Informasi dan koneksi yang berharga
Hal ini karena aktif berorganisasi akan lebih banyak mendapat teman sehingga informasi yang akan kamu dapat jauh lebih banyak. Informasi-informasi student excange di kampus biasanya diketahui pertama kali oleh para aktivis, khususnya aktivis BEM. Organisasi kampus juga sering melakukan kegiatan studi banding ke universitas lain di negara-negara tetangga. Nah, saat berkunjung dengan para dosen di sana sebagai modal jangka panjang jika suatu saat kamu ingin mencari peluang untuk mendapatkan beasiswa di negara tersebut. Tahu kan maksudnya? Itu lho, jika suatu saat kamu butuh Letter of Acceptance (LoA) dari salah satu profesor sebagai syaratnya.
Memenuhi syarat sudah bekerja untuk melamar beasiswa
Jangan membatasi diri dengan mengikuti BEM saja, masih banyak organisasi kampus lain dan organisasi di luar kampus, misalnya LSM dan NGO (nongovernmental organization) lain yang bisa kamu ikuti. Apalagi tawaran beasiswa yang salah satu syaratnya pelamar harus punya pengalaman bekerja. Syarat itu merupakan kendala tersendiri bagi banyak orang.
Kendala itu bisa dipecahkan dengan bergabung di LSM karena kamu bisa meminta surat keterangan kerja di LSM tersebut untuk melengkapi syarat bahwa kamu pernah bekerja. Kemudian, yang lebih menguntungkan, pelamar dengan latar belakang LSM juga sangat disukai oleh funding beasiswa. Klop, kan?!
Kemudahan saat meminta rekomendasi
Kesempatan aktivis untuk berkenalan secara lebih dekat dengan dosen-dosen di kampus sangat besar (terutama dosen yang juga memegang posisi struktural di kampus). Jadi, jika suatu saat kamu butuh surat rekomendasi, kamu memiliki banyak alternatif dosen untuk dipilih, mulai dari pembina , BEM, pembina organisasi lain (pramuka, PMI, drumband), wakil dekan bidang kemahasiswaan, pihak rektorat, dan wakil dekan bidang kemahasiswaan, dan dosen lainnya di kampus, Dengan demikian, peluang untuk mendapat rekomendasi tidak hanya tergantung pada dosen wali.
Menambah kepercayaan diri dan modal daya jual
Mahasiswa yang aktif berorganisasi biasanya memiliki kepribadian lebih matang dibanding mahasiswa yang tidak berorganisasi. Perbedaan itu tampak sangat kentara ketika proses wawancara. Mahasiswa yang aktif berorganisasi cenderung lebih rileks, tenang, dan terarah dalam menjawab setiap pertanyaan di sesi wawancara.
Kok bisa? Tentu saja. Hal itu, karena para aktivis sudah kerap berorganisasi, berdiskusi, atau berdebat (berargumentasi) dengan orang lain. Mereka terlatih berpikir secara cepat dan strategis di segala kondisi. Jadi, ya wajar saja karena mereka sudah mempunyai soft skill yang mumpuni.
Menambah catatan di CV sehingga memperluas kesempatan memperoleh beasiswa
Biasanya, catatan-catatan keterlibatan dalam organisasi kampus ataupun luar kampus akan dimasukkan dalam CV yang kamu buat. Terkadang dibutuhkan bukti autentik yang mendukung pernyataan dan keterangan berorganisasi tersebut. Oleh sebab itu, jangan lupa menyimpan sertifikat atau surat keterangan organisasi; atau jika kamu tidak mendapatkannya, mintalah kepada pihak yang punya otoritas.
Dengan track record aktivitas di luar kuliah yang baik, ditambah IPK yang baik, plus kemampuan komunikasi yang mumpuni, tentu saja peluang diterima pun menjadi lebih besar, bukan?